Konsep IPL yaitu Liga Indonesia berada dalam satu perusahaan
(konsorsium), jadi semua klub dibiayai konsorsium, dengan konsekuensi
hasil tiket, hak siar dan lain-lain masuk ke PSSI (konsorsium, red).
Ini
yang mendasari kenapa saham 70% ke Djohar, 30% ke Faried. Hal ini sudah
berjalan pada kompetisi LPI musim lalu, namun bisa dikatakan musim lalu
adalah proyek rugi, kenapa?
Dengan jumlah uang miliaran rupiah
yang telah dibagikan konsorsium ke 20 klub LPI musim lalu, kontrak
marquee player, gaji untuk wasit asing, ternyata animo penonton untuk
LPI sangat kurang. Karena sebagian besar adalah klub2 baru tanpa basis
supporter yang kuat, sepi penonton, akhirnya tak laku dijual ke sponsor.
Konsep
ini coba diterapkan pada musim ini, dengan kursi kepemimpinan PSSI yang
sudah berada di tangan mereka, konsorsium mencoba menerapkan konsep
tersebut di kompetisi musim ini, tapi terbentur dengan keberadaan
klub-klub besar yang sudah berpuluh tahun berdiri.
Kenapa? Karena
klub-klub itu sudah bisa mendapatkan sponsor sendiri, tanpa perlu
bantuan konsorsium. Akhirnya segala cara coba ditempuh PSSI di
antaranya,
1. Menggemukan kompetisi menjadi 36 dan setelah banyak
mendapat protes menjadi 24, kenapa kok gak 18 tim aja, sesuai statuta?
Ya karena dari 18 tim ISL musim lalu, sebagian besar bukan 'tim nya
konsorsium' artinya nggak balik modal. Akhirnya ditambahlah 6 tim
siluman itu, yang notabene 'timnya konsorsium', atau pesan sponsor.
2.
Memergerkan tim-tim LPI dengan ISL, contoh Jakarta FC dengan Persija,
ini bisa dikatakan take over secara halus, karena kita tahu potensi
besar Persija dengan The Jak Mania nya.
Beberapa klub berhasil
melawan, hasilnya apa? Timbulah dualisme, Persebaya 1927-Persebaya
Wisnu, Arema M Nuh-Arema Rendra, Persija (Jakarta FC)-Persija Paulus,
PSMS IPL-PSMS ISL dan hampir saja timbul Persib 1933. Klub2 di atas
adalah klub-klub besar dengan basis supporter yang kuat, bisa
dibayangkan keuntungan yang didapat oleh konsorsium?
Tidak ada
yang salah dengan konsep konsorsium tersebut, dengan syarat seluruh tim
adalah timnya konsorsium, seluruh biaya dari konsorsium, dengan timbal
balik, hasil tiket tidak sepenuhnya untuk klub, sebagian ke konsorsium,
pembagian hak siar, sponsor dan keuntungan ke konsorsium. Tapi hal ini
tidak akan bisa berjalan jika di liga tersebut hanya sebagian kecil yang
mau jadi timnya konsorsium.
Sedangkan konsep ISL, klub cari uang
sendiri, cari sponsor sendiri, tapi keuntungan kompetisi ya balik ke
klub (99% klub, 1% PSSI) karena pada konsep ini klub lah yang
berdarah-darah membiayai diri mereka sendiri. Konsep ini yang dianut
sebagian besar kompetisi-kompetisi eropa.
Tidak ada yang salah
dengan duakonsep itu, yang menjadi masalah adalah ketika klub-klub
dengan dua konsep tersebut digabung menjadi satu kompetisi. Klub
konsorsium tentu tidak masalah ketika hak siar, uang tiket, sponsor
masuk ke konsorsium, karena toh mereka tidak mengeluarkan uang
sepeserpun untuk biaya kontrak dan operasional klub.
Tapi bagi
klub-klub yang membiayai diri sendiri tentu keberatan, karena mereka
membiayai diri mereka sendiri. Mau rapat 7 hari 7malam pun tidak akan
ketemu titik temu.
Seandainya pun IPL dengan 24 tim berjalan, ada
kemungkinan konsorsium akan berusaha membela dan mempertahankan
eksistensi klub-klubnya di IPL, dan mendegradasikan klub-klub
nonkonsorsium. Suatu bahaya laten.
Menurut pendapat saya pribadi,
konsep ini tidak dikemukakan oleh PSSI sejak awal, sehingga timbul
saling curiga. Seharusnya mereka dari awal menawarkan ide mereka kepada
18 tim yang berhak tampil di ISL.
Kalau mereka setuju maka
jalanilah, Jika tidak, ya jangan dipaksakan, karena mereka duduk di
kursi itu karena dipilih oleh klub-klub anggota PSSI. Yang terjadi
sekarang PSSI seperti memaksakan kehendaknya, menghalalkan segala cara,
tanpa menghiraukan aspirasi klub-klub anggota, akhirnya segala keputusan
main tabrak sana tabrak sini.
Timbul yang namanya PSMS ke IPL
karena pesan sponsor, Bontang FC ke IPL karena kasihan dikerjain wasit,
dan alasan-alasan lainnya yang terlalu dibuat-buat.
Dan saya
lebih setuju jika tim-timprofesional mencari sponsor sendiri, seperti di
Liga-liga Eropa. Daripada pendanaan terpusat ala konsorsium. Jika
Arifin Panigoro (AP) ingin memajukan sepak bola nasional, iya bisa
membeli klub-klub yang sudah ada, atau mendirikan klub baru dan berjuang
dari bawah.
Tidak seperti kasus Persija, Arema dan tim-tim
lainnya. Dengan kekuasan PSSI, mereka seperti mengambil alih tim-tim
tersebut secara paksa. Menunjuk satu orang dan mengatakan bahwa ini
Arema yang sah, ini Persija yang sah. Tapi satu hal yang perlu diingat,
tim-tim tersebut besar bukan karena namanya, tapi karena suporternya.
Walaupun
Anda sudah merasa kuasai Arema, sudah kuasai Persija, tanpa Aremania
dan The Jak Mania, tetap saja tim itu seperti Jakarta FC, Bintang Medan ,
dan tim-tim LPI lainnya. Tanpa penonton dan anda rugi.
*tulisan ini di copy paste di salah satu forum sepakbola , saya hanya bermaksud untuk meneruskan , bagi yg ingin membaca nya :)